Easy Money



Easy Money


Easy Money
Easy Money

20111002

Orang Tua Belum Berhaji? Badal Haji Solusinya

Badal Haji adalah sebuah istilah yang dikenal dalam fiqih Islam. Istilah yang lebih sering digunakan dalam kitab-kitab fiqih adalah al-hajju 'anil ghair, yaitu berhaji untuk orang lain.

Dan pada kenyataannya memang seseorang benar-benar melakukan ibadah haji, namun dia meniatkan agar pahalanya diberikan kepada orang lain, baik yang masih hidup namun tidak mampu pergi maupun yang sudah wafat.

Tentunya tindakan ini bukan hal yang mengada-ada, tetapi berdasarkan praktek yang dikerjakan oleh para shahabat nabi dan direkomendasikan langsung oleh beliau SAW.

Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya:†Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya harus melakukah haji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR Bukhari).

Hadits yang sahih ini menjelaskan bahwa seseorang boleh melakukan ibadah haji, namun bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain. Dalam hal ini untuk ibunya yang sudah meninggal dunia dan belum sempat melakukan ibadah haji.

Di dalam hadits yang lain, disebutkan ada seseorang yang berhaji untuk ayahnya. Kali ini ayahnya masih hidup, namun kondisinya tidak memungkinkan untuk melakukan ibadah haji. Maka orang itu mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta fatwa.


Seorang wanita dari Khats`am bertanya, Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya?Rasulullah SAW menjawab,  (HR Jamaah)


Pendapat Para Ulama

Dengan adanya dalil-dalil di atas, maka kebolehan melakukan haji untuk orang lain ini didukung oleh jumhur ulama. Di antaranya adalah Ibnul Mubarak, Al-Imam Asy-Syafi`i, Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbalrahimahumullah.

Syarat Harus Sudah Haji

Al-hajju anil ghair mensyaratkan bahwa orang yang melakukan badal haji itu harus sudah menunaikan ibadah haji terlebih dahulu, karena itu merupakan kewaiban tiap muslim yang mampu. Setelah kewajibannya sudah tunai dilaksanakan, bolehlah dia melakukan haji sunnah atau pergi haji yang diniatkan untuk orang lain.


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW mendengar seseorang bertalbiyah, "Labbaikallhumma 'an Syubrumah." Rasulullah SAW bertanya, "Siapakah Syubrumah?" Dia menjawab, "Saudara saya." "Apakah kam sendiri sudah melaksanakan ibadah haji?" "Belum." Rasulullah SAW bersabda, "Jadikan haji ini adalah haji untukmu terebih dahulu. Baru nanti (haji tahun depan) kamu boleh berhaji untuk Syubrumah." (HR )

Dalam hal ini tidak disyaratkan harus orang tua sendiri atau bukan, juga tidak disyaratkan harus sama jenis kelaminnya. Juga tidak disyaratkan harus sudah meninggal.

Tentunya baik dan buruknya kualitas ibadah itu akan berpengaruh kepada nilai dan pahala disisi Allah SWT. Dan bila diniatkan haji itu untuk orang lain, tentu saja apa yang diterima oleh orang lain itu sesuai dengan amal yang dilakukannya.

Adapun amalan selama mengerjakan badal haji tapi di luar ritual ibadah haji, apakah otomatis disampaikan kepada yang diniatkan atau tidak, tentu kembali masalahnya kepada niat awalnya. Bila niatnya semata-mata membadalkan ibadah haji, maka yang sampai pahalanya semata-mata pahala ibadah haji saja. Sedangkan amalan lainnya di luar ibadah haji, maka tentu tidak sampai sebagaimana niatnya.

Sebaliknya, bila yang bersangkutan sejak awal berniat untuk melimpahkan pahala ibadah lainnya seperti baca Al-Quran, zikir, umrah dan lainnya kepada yang diniatkannya, ada pendapat yang mengatakan bisa tersampaikan.

Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc

Orang yang mati dan belum berhaji tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama:

Saat hidup mampu berhaji dengan badan dan hartanya, maka orang yang seperti ini wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya dengan harta si mayit. Orang seperti ini adalah orang yang belum menunaikan kewajiban di mana ia mampu menunaikan haji walaupun ia tidak mewasiatkan untuk menghajikannya. Jika si mayit malah memberi wasiat agar ia dapat dihajikan, kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ

“Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)

Juga disebutkan dalam hadits shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?” “Hajikanlah dan umrohkanlah dia”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan An Nasai). Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk dihajikan.

Di hadits lainnya yang shahih, ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji. Namun beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?” “Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad dan Muslim)

Kedua:

Jika si mayit dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan tua renta sehingga semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam ini tetap disyari’atkan bagi keluarganya seperti anak laki-laki atau anak perempuannya untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang disebutkan sebelumnya.

Begitu pula dari hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa itu Syubrumah?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku –atau kerabatku-”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai pada sahabat Ibnu ‘Abbas). Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan dibolehkannya menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.

Adapun firman Allah Ta’ala,

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39). Ayat ini bukanlah bermakna seseorang tidak mendapatkan manfaat dari amalan atau usaha orang lain. Ulama tafsir dan pakar Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah amalan orang lain bukanlah amalan milik kita. Yang jadi milik kita adalah amalan kita sendiri. Adapun jika amalan orang lain diniatkan untuk lainnya sebagai pengganti, maka itu akan bermanfaat. Sebagaimana bermanfaat do’a dan sedekah dari saudara kita (yang diniatkan untuk kita) tatkala kita telah meninggal dunia. Begitu pula jika haji dan puasa sebagai gantian untuk orang lain, maka itu akan bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati namun masih memiliki utang puasa, maka hendaklah ahli warisnya membayar utang puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah). Hal ini khusus untuk ibadah yang ada dalil yang menunjukkan masih bermanfaatnya amalan dari orang lain seperti do’a dari saudara kita, sedekah, haji dan puasa. Adapun ibadah selain itu, perlu ditinjau ulang karena ada perselisihan ulama di dalamnya seperti kirim pahala shalat dan kirim pahala bacaan qur’an. Untuk amalan ini sebaiknya ditinggalkan karena kita mencukupkan pada dalil dan berhati-hati dalam beribadah. Wallahul muwaffiq.



Para ulama menjelaskan bahwa ada tiga syarat boleh membadalkan haji:


  • Orang yang membadalkan adalah orang yang telah berhaji sebelumnya.
  • Orang yang dibadalkan telah meninggal dunia atau masih hidup namun tidak mampu berhaji karena sakit atau telah berusia senja.
  • Orang yang dibadalkan hajinya mati dalam keadaan Islam. Jika orang yang dibadalkan adalah orang yang tidak pernah menunaikan shalat seumur hidupnya, ia bukanlah muslim sebagaimana lafazh tegas dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, alias dia sudah kafir. Sehingga tidak sah untuk dibadalkan hajinya.




===== Haji, Umrah

Badal Haji

No comments:

Share on Facebook
Kata-kata Hikmah..! Jelang Pemilu, Jangan Golput ! Di Pemilu 2009